Modernis.co, Malang – “Masa depan adalah di sini” adalah kutipan dari William Gibson, salah satu penulis fiksi termasyhur di Amerika Serikat. Gibson menilai bahwa apa yang dipersepsi oleh orang, masa depan sudah dapat dirasakan sekarang. Perkataan Gibson sesuai dengan perkembangan teknologi yang telah membawa kita ke dalam kehidupan yang lebih canggih.
Menanggapi perubahan ini, Jerman membuat konsep industri 4.0 yang melihat bagaimana mesin otomatis dan sensor pintar membantu manusia dalam produksi industri. Kemudian Jepang merintis konsep masyarakat 5.0, di mana dengan kecerdasan buatan dan mesin pintar akan membantu mengembangkan manusia-manusia yang berkualitas. Proses perkembangan teknologi di dunia yang telah terinterkoneksi ini disebut dengan globalisasi.
Dalam globalisasi, dunia yang telah terinterkoneksi ini menghadapi perkembangan teknologi yang merubah kehidupan dalam masyarakat. Kemajuan teknologi ini membawa masyarakat ke era digital di mana teknologi seperti internet dan smartphone membantu manusia dalam berbagai aspek, terutama dalam mempermudah untuk mendapatkan akses informasi.
Masyarakat tidak perlu lagi menunggu surat kabar datang atau bertatap muka untuk bertukar informasi. Dengan sekali membuka smartphone, semua informasi yang diinginkan dan semua komunikasi yang ingin dilakukan dapat terjalin secara instan. Internet dan media sosial menjadi kepentingan hidup baru dalam masyarakat.
Namun, meningkatnya berita-berita palsu (hoax) menjadi salah satu konsekuensi perkembangan teknologi informasi digital. Berita hoaks sudah lama ada di masyarakat, akan tetapi sejalan dengan kemajuan media, semakin mudah bagi masyarakat untuk terekspos berita hoaks. Dalam penelitian yang ditulis oleh Dwi Agustina, ia melihat bahwa media sosial menjadi tempat masyarakat dunia maya untuk menyebar informasi-informasi hoaks.
Media sosial adalah wadah untuk membagikan aktivitas dan berita yang mereka dapatkan. Akan tetapi, tidak semua berita-berita yang disebar ini benar. Banyaknya berita-berita yang mengalir di sosial media membuat kebenaran dan kebohongan menjadi kabur. Sulitnya mendeteksi berita hoax secara langsung membuat konsumsi berita hoax meningkat. Berita-berita yang diterima tidak lagi dicek kebenarannya dan langsung disebar.
Sebagian berita-berita hoaks dibuat dengan sengaja oleh oknum-oknum demi kepentingan mereka. Berita-berita hoax ini dapat dilakukan untuk memutar balikan fakta, merubah informasi yang ada, dan bahkan menciptakan kebingungan kepada publik. Dengan penyebaran yang masif secara cepat ini tidak hanya termakan oleh masyarakat biasa, tetapi juga instansi swasta hingga pemerintah.
Hal ini digunakan segelintir orang untuk menciptakan kekacauan dan menggiring opini demi kepentingan politik mereka. Dampak yang dirasakan masyarakat adalah perseteruan opini yang dapat berujung kepada perundungan hingga konflik.
Berkaitan dengan globalisasi politik, Armela Imeraj, Direktur Jenderal Badan Telegraf Albania berargumen bahwa berita hoaks juga dapat menjadi senjata untuk mempengaruhi negara lain. Dengan bantuan internet dan penerjemah, pemerintah asing atau kelompok dapat mempengaruhi urusan negara lain.
Dengan mengumpulkan data dan berita-berita, suatu kelompok mampu menciptakan berita palsu sebagai produk global yang dapat berperan dalam kampanye politik dan isu-isu lainnya. Untuk itu, selain masyarakat pengguna media sosial, agensi berita juga perlu aktif dalam memilah berita-berita palsu.
Indonesia sendiri sebagai negara dengan pengguna sosial media yang besar, menjadi negara yang rentan akan berita hoaks. Dikutip dari laman Databoks, Survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center (KIC) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berhasil menemukan bahwa sebanyak 11,9% mengakui pernah menyebar berita hoaks pada 2021. Hal ini menunjukan adanya masyarakat yang sadar jika mereka pernah menyebar berita hoax.
Maka dari itu, dalam menghadapi perkembangan teknologi informasi, masyarakat perlu mengimbanginanya dengan sifat kritis. Perlu adanya kesadaran publik untuk memotong rantai penyebaran informasi-informasi yang tidak jelas. Strategi yang baik adalah untuk selalu mengecek informasi yang didapat.
Berita-berita yang diterima media sosial perlu ditelaah kebenarannya sebelum disebarkan. Sifat kritis ini diperlukan dalam masyarakat umum, terutama kaum muda yang tidak bisa lebih dengan gadget dan internet. Karena dengan sikap kritis ini dapat tidak hanya bermanfaat bagi individu, tetapi juga bermanfaat bagi negara.
Oleh: Mohamad Rifqi Naufal, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang